Bacakan ini, sekali saja

Ini adalah kisah nyata yang memporak-porandakan kuatnya cengkraman keyakinan, bahwa persoalan di luar rumah jauh lebih penting. Bagaikan magnet, urusan-urusan itu kerap menguasai hidup kita. Ini pula yang ‘menjerat' seorang ayah dengan anak semata wayangnya.

Malam itu, ia membawa pekerjaannya ke rumah. Ada rapat umum yang sangat penting besok pagi dengan para pemegang saham. Sewaktu ia memeriksa pekerjaannya. Anisa, putrinya yang baru beumur 3 tahun menghampiri, sambil membawa buku cerita yang masih baru. Buku bersampul hijau bergambar peri. Anisa memintanya membacakan buku itu. Namun ayahnya menampik. Dan perhatian ayahnya segera beralih kembali pada tumpukan kertasnya. Anisa berdiri terpaku sambil merayu kembali “Tapi Mama bilang, Papa akan membacakannya untuk Anisa.”

Dengan agak kesal, ayahnya menampik kembali karena merasa sangat sibuk. Ia menyuruh Anisa untuk meminta ibunya membacakan buku itu. ”Tapi Mama lebih sibuk dari Papa” ujar Anisa perlahan. Tak tahan, sang ayah berbicara keras, dengan kalimat penolakan yang sama. Waktu berlalu, Anisa masih berdiri di sebelah ayahnya sambil memegang bukunya. Lama sekali sang ayah mengacuhkan Anisa. Tiba-tiba Anisa mulai lagi. ”tapi Papa, gambarnya bagus sekali dan pasti ceritanya bagus juga, Papa pasti akan suka.”

”Anisa, sekali lagi Papa bilang, lain kali!!”.
Dengan agak keras ia membentak anaknya. Hampir menangis, Anisa menjauh. “iya deh, lain kali, ya Papa lain kali.” tapi Anisa kemudian mendekati ayahnya, menyentuh lembut ayahnya dan menaruh bukunya di pangkuan ayahnya sambil berkata ”Kapan saja Papa ada waktu... Papa tidak usah baca untuk Anisa, baca aja untuk Papa tapi kalau bisa, bacanya yang keras ya, biar Anisa juga bisa mendengarkan.” ayahnya hanya diam.

Kejadian tiga minggu lalu itulah ada dalam pikiran sang ayah. Ia teringat Anisa dengan penuh pengertian mengalah. Anisa yang meletakkan tangannya yang mungil di atas tangan ayahnya sambil mengatakan ”Tapi kalau bisa, bacanya yang keras ya Pa, supaya Anisa juga bisa ikut dengar.”

Karena itulah ia mulai membuka buku cerita yang diambilnya dari tumpukan mainan Anisa di pojok ruangan. Ia mulai membuka halaman pertama, dan dengan parau membacanya. Ia sudah melupakan pekerjaannya yang dulunya amat sangat penting. Ia bahkan lupa akan kemarahan dan kebenciannya pada pemuda mabuk yang kendaraannya menghantam tubuh kecil Anisa, hingga nyawanya pun ikut melayang. Ia membaca halaman demi halaman sekeras mungkin. Berharap andai kata masih ada kesempatan untuk didengarkan Anisa. Berandai, jika saja sebagai ayah ia masih punya waktu untuk pulang.

Tentu, hidup ini bukan diisi dengan pengandaian belaka. Tentu, kita tak perlu berandai-andai, apabila kita tidak mengubur sisi manusiawi kita, untuk pulang pada orang-orang tercinta.

Keluarga, itulah anugerah kehidupan, itulah muara sesungguhnya. Itulah sebenarnya tempat kita berlabuh. Pulang. Berteduh dari ketakutan, kekecewaan, kepedihan, kekeringan fisik maupun hati. Yang lebih mampu memaklumi daripada menghujat. Lebih banyak menerima daripada menuntut. Lebih mudah memperhatikan daripada menghakimi. Semua kita tahu. Namun tetap saja kita seringkali menomorsekiankan keluarga. Bermula dari apa yang kita namakan tuntutan kebutuhan.

Saat-saat perginya orang tua, buah hati, dan saudara kita menghadap Tuhan. Didahului sakit parah berkepanjangan atau tidak. Mendadak atau tidak. Ketika itulah kita baru biasanya tergugu. Tersadar, sebenarnya tak pernah ada cukup waktu bersama mereka. tak pernah ada cukup waktu untuk dinikmati bersama orang tua dan keluarga. Untuk menggambarkan bahwa kita pun sebenarnya mencintai mereka. Dan ketika waktu itu habis, yang ada hanya pertanyaan apakah selama ini kita telah pulang pada mereka, mempersembahkan segala cinta untuk mereka.

6 komentar:

aidicard 10 Mei 2009 pukul 08.19  

pertamax.... wekekekek..

mudahan kelak saya tidak menjadi seperti bapak itu.. pokoke saya ingin membahagiakan keluarga..

yatie 10 Mei 2009 pukul 11.33  

keduaxxxx...hehehe

tutorial yg sangat bagus..suatu pelajaran buat ku, untuk menjadi ibu yg baik..hohohoho...

syafwan 11 Mei 2009 pukul 01.02  

Menafkahi keluarga adalah sebuah kewajiban. Namun membahagiakan keluarga merupakan kebajikan yang tak ternilai ganjarannya. Semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.


*tumben hari ini kata-kata saya bijak*

manusiahero 12 Mei 2009 pukul 16.55  

# syafwan : kena syndrom bijak pulang...

harus berbakti kepda abah wan ma2...

Poeboe@84 13 Mei 2009 pukul 20.50  

Emelku (YM):poeboe_85@yahoo.com, add kenalh. Selamat dah lulus, kena bpadah dmana bediam mun dah masuk kerja. Soalnya parak ja wadah kam tu wan wadahku.

andrie callista 14 Mei 2009 pukul 20.10  

wahhhh.... begitu ya?!?! salam kenal ya..

Posting Komentar