Antara Martapura, Sungai Tabuk, dan Banjarmasin


Siang itu. Matahari terus beranjak naik, meninggalkan panas di ubun-ubun. Terlihat para peserta pelatihan keluar ruangan sambil menenteng sebuah amplop dan sertifikat. Pelatihan selama 5 hari di Martapura telah usai. Perlahan tapi pasti para peserta mulai meninggalkan lokasi, pulang ke daerah masing-masing.

Ketika itu hari Sabtu pukul 14.00 wita. Aku masih terpaku, bingung antara mau pulang atau tidak, suara hati dan logika mulai berkelahi. Yah,, akhirnya logika yang menang, ga mungkin aku berani mengambil resiko naik motor sendirian, melintasi perjalanan 170 km kurang lebih, dan kemalaman di jalan. Akhirnya kuputuskan untuk pulang besok pagi minggu.

Ho ho ho,, kali ini bukan cerita tentang pelatihan tutor paket C yang baru saja aku ikuti, tapi ceritaku belajar dari perjalanan...


Mumpung masih hari Sabtu dan besoknya masih hari libur, kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Banjarmasin. Namun sebelum itu mampir dulu di rumah kerabat di Martapura.

Siang terus beranjak, cahaya putih membara belum meredup, namun sesekali awan hitam menutupi teriknya sang mentari. Meninggalkan sedikit hawa dingin pada bumi. Episode pembelajaran di mulai dari sini. Pertama yang kulakukan adalah mampir di toko buah, membeli sedikit buah untuk kerabat yang akan kukunjungi.

Bab I pembelajaran

Mampir di rumah kerabat, sebut saja beliau dengan Mbak, rumahnya berada di Tanjung Rema, Martapura. Mbak yang perjuangan hidupnya sangat keras, mbak yang punya 3 orang anak, dengan anak terakhir yang masih balita mengalami cacat fisik. Hidup terpisah dengan suaminya yang tinggal di Handil Bakti Banjarmasin, semua ini di lakukan untuk mencari nafkah keluarga. Si Mbak pun ternyata tidak mau berpangku tangan menunggu pemberian sang suami saja. Dengan sepeda butut dia bersama anak balitanya tiap hari mendatangi salah satu rumah di komplek perumahan, menjadi buruh cuci bulanan, dengan gaji 150 ribu perbulan. Gaji yang sangat rendah, jauh di bawah UMR. Aku sempat protes dan berkata “Kok, bisa serendah itu gajinya. Namun raut keikhlasan terpancar di wajahnya, dan dengan santai beliau berkata “yah, daripada tidak ada pekerjaan buat nambahin biaya hidup yang semakin tinggi”. Pembelajaran pertama sudah selesai, dan sebelum meninggal tempat Mbak, aku memberikan sekantong buah dan sedikit uang untuk belanja si kecil, hitung-hitung berbagi rejeki honor pelatihan .

Bab II pembelajaran

Setelah dari rumah si Mbak, ku lanjutkan perjalanan ke rumah kerabat yang satu lagi di Jalan Pendidikan. Masih sama di Martapura juga. Supaya mudah ku sebut saja beliau dengan bude. Bude yang satu ini hidupnya sangat bersahaja, separuh dari rumahnya masih berlantaikan tanah. Punya anak 8 orang, ah sampai nama-nama anak beliaupun aku sering lupa. Anak yang banyak ternyata tidak membuat rejeki beliau ikut banyak. Malah anak beliau yang sudah menikah sering ikut numpang makan di rumahnya, hingga pembagian jatah piring ikut bertambah. Setiba di rumah beliau, sontak sambutan hangat mengalir dari bibir beliau. Kedekatanku dengan beliau membuat ragam cerita tumpah ruah begitu saja. Mulai dari cerita anak lelaki beliau yang berinjak remaja terlibat pergaulan bebas, hingga sering mabuk-mabukan sama gengnya. Duh,, miris hati ini mendengarnya.

Hening sejenak,,
Beliau kembali bicara, namun kali diiringi tawa-tawa kecil, beliau berkata “San, tuh coba lihat meja makan Bude”,, sambil senyum ku bilang “ah,, ngapain bude, orang sudah makan juga waktu sebelum penutupan pelatihan tadi, masih kenyang kok”.

Hening kembali menyeruak,,

Kemudian lirih beliau berkata “tidak ada makanan apa-apa di meja, tidak ada beras yang bisa di masak, dan tidak ada uang untuk membeli beras. Pakde kamu masih belum pulang dari bekerja, mudahan sore nanti pakde bawa uang. Untungnya adik-adikmu yang kecil tidak rewel minta makan. Yah, kalau ada nasi mereka makan, kalau tidak mereka diam aja”.

Tes,, airmata menetes di hatiku. Yah, Cuma di hati, sekuat tenaga ku tahan agar buliran-buliran halus tidak menetes dari mata ini. Tak tau dan tak mengerti harus berkata apa. Apakah ini sebuah kepasrahan, ketidakberdayaan, atau malah sebuah kemalasan ketika hanya mengharap pemberian dari pakde. Berbeda sekali dengan mbak yang tak kenal lelah menjadi buruh cuci untuk membantu suami mencari nafkah.
Seperti sebelumnya, ketika ingin pulang kuberikan kantong buah yang satunya lagi dan kembali berbagi rejeki uang honor pelatihan. Masyaallah beliau menangis menerima sedikit uang yang kuberikan. Dan spontan beliau memanggil anak lelakinya, beliau berkata ”Nduk, ini kakakmu ada kasih sedikit uang, kamu ke toko wan haji yah, beli beras sama minyak tanah”.

Tak mau berlama-lama di sana, aku langsung pamit pulang untuk meneruskan perjalanaan ke Banjarmasin.

Sebuah pelajaran penting dalam hidupku dari dua fragmen yang berbeda. Antara kegigihan dan kepasrahan…

Situasi hidup yang diberikan Allah kepada memang berbeda-beda. Tingkat kesulitannya pun beragam. Di antara kita, ada banyak orang yang sangat jauh dari kemudahan-kemudahan. Mereka bercengkerama dengan situasi yang seolah memaksanya untuk pasrah. Namun di sisi lain, ada pula di antara yang melimpah dengan kemudahan.

Kesulitan dan kemudahan, sebenarnya adalah dua situasi yang selalu akan kita temui. Ia bisa menjadi pilihan, tetapi terkadang lahir dari sebuah tekanan, paksaan atau faktor yang lain.

Hahayy,, melankolis cerita kali ini. Eiitt,, tunggu dulu cerita masih bersambung, karena ini baru secuil cerita di Martapura, belum sampai ke Banjarmasin.

Read More......

Futur Menulis


Tiada kata dan bahasa yang patut diucap kecuali kata malu. Malu menyebut diri sebagai blogger. Terlalu lama jemari ini tidak menari lincah, merangkai hentakan-hentakan ritmis. Terakhir aku menulis saat bulan kemerdekaan, di mana jemari inipun merasa bebas bersalsa. Namun setelah bulan kemerdekaan lewat, kembali jemari ini terkungkung. Terkungkung oleh rutinitas dan rasa malas. Tidak ada alasan dan alibi memang, kecuali rasa malas. Malas untuk memulai menulis, aku terlena dengan kesibukan dan rutinitas. Kalau dalam istilah Tarbiyah, saat ini aku sedang Futur. Futur menulis. Disebut sedang hibernasi ataupun hiatus juga tidak pantas, karena aku sering berkomentar dan menulis status di facebook.

Jiaahh,,

Mungkin agak lucu kalo aku menjadikan amanah tambahan di luar ngajar sebagai alasan futur menulis, namun memang begitulah adanya. Entah kenapa amanah yang berhubungan dengan uang selalu jadi jatahku. Dulu waktu masih kuliah, 2 periode kepengurusan organisasi aku bercokol di departemen dana dan usaha. Waktu kerja di RS juga ngurusin klaim alat operasi. Dan ketika pindah haluan, pulang kampung, mengajar, dan akhirnya mendirikan Iqro Club Balangan bersama teman-teman, lagi-lagi aku di minta jadi bendahara umum. Mencoba meraba-raba alasannya, apa mungkin ini karena aku seorang pedagang??? *weleh-weleh*. Dan, semua itu Alhamdulillah masih bisa kulaksanakan.

Namun sekarang yang benar-benar bikin kalang kabut ketika aku menjadi bendahara di sekolah baru. Penunjukan sepihak oleh kepsek tanpa bisa kutolak. Bayangkan aku yang berlatar ilmu eksak dari SMA sampai kuliah harus berhadapan dengan rencana anggaran, LPJ dan pajak. Belajar dan belajar, nanya kesana-kemari tentang segala tetek bengek dana BOS, sudah kulakukan. Tapi tetap saja lelet, faktor usia juga kali yah, sekarang tambah susah aja tuk menangkap ilmu (ngawur.com hehehe,,).
Ada yang bertanya” loh, bendahara lamanya mana??” hmm… jangan tanyakan itu, karena bendahara lama seolah-olah lepas tangan.

Begadang tiap malam sudah jadi rutinitasku sekarang.
Dan, apabila suatu hari teman-teman berpapasan dengan perempuan yang agak sedikit gendut (karena kebanyakan ngemil tengah malam kali ye, hehehe) lemas, pucat, tak terawat, gurat letih yang nampak jelas di wajah, mata yang lelah karena kurang tidur, mungkin itulah aku. Yah, aku hanya sedikit lelah. itu saja. Tapi aku akan berusaha memberikan senyum terindah untuk kalian saat berjumpa (Oops,, lebayy)

Bagaimana aku harus menjelaskan? Teman...aku hanya manusia lemah yang jauh dari kesempurnaan. Aku tak berani berjanji tuk sering menulis,, namun aku akan berusaha mengikat imaji-imaji agar tidak terbang bebas, hingga di saat aku ingin bercerita, ku bisa menariknya kembali.



Read More......

coey's

Belajar dan mengajar merupakan fragmen yang tak terpisahkan dalam hidup ini. Pun blog ini dibuat dalam rangka proses pembelajaran.