Jelaga Malam

Terpurukku di kota karma
Kota yang malamnya membuatku gerah
Di mana ikhlas terkontaminasi lelah
Asa tersublim menjadi serapah

Kota bercawan dahaga
Kota yang sudutnya berkerudung jelaga
Kureguk air putih bercampur keringat
Energiku redam dalam napas hangat
Sekelebat diam menyusup jiwa
Diam yang menyesakkan dada

Read More......

Salahkah Saya Kali Ini?

Menjadi guru itu indah, banyak ritmis yang di temui. Murid-murid dengan latar pendidikan dan kultur yang heterogen. Para rekan seprofesi dengan kepentingan yang berbeda. Jadi guru adalah pekerjaan yang hidup, karena kita menghadapi materi bernyawa yang bisa membuat marah, ketawa, sedih, kecewa, atau bangga.

Sebagai seorang anak manusia, saya juga pernah melewati masa-masa perkembangan mulai dari anak-anak, remaja sampai proses menuju kedewasaan. Jujur saya akui saya tidaklah lebih baik dari murid-murid saya sekarang. Nakal, jahil, dekil, kucel juga pernah saya lakukan.

Namun senakal-nakalnya kami jaman dulu, tidak pernah melakukan hal-hal di luar batas kewajaran. Mungkin teman-teman tidak pernah menemukan proses pembelajaran dimana para murid merokok, dalam kelas, meletakkan kaki di atas meja padahal guru ada di depan kelas menerangkan pelajaran. Syahdan, hal ini pernah saya alami ketika melakukan pembelajaran di kelas Paket.

Okelah, memang saya tidak bisa memarahi murid-murid saya, apalagi sampai menunjukkan kemarahan yang meledak-ledak, dan mungkin ini adalah sebuah kelemahan saya sebagai seorang guru, namun bukan berarti saya tidak menegur mereka.

Terkadang saya berpikir kenapa pelajaran agama, etika dan akhlak mendapat posisi dan jatah pembelajaran lebih sedikit dibandingkan pelajaran eksak, bahasa dan sosial. Padahal tiga hal itu menjadi substansi dasar dan penting untuk membentuk anak bangsa yang berkepribadian mulia.

Hal yang membuat saya miris sebagai pendidik adalah etika berbicara murid-murid saya yang masih jauh dari norma kesopanan. Mungkin karena latar keluarga dan lingkungan, serta pengaruh televisi, sehingga merekapun sering melontarkan ucapan-ucapan yang tidak pantas diucapkan seorang pelajar. Kata-kata kotor, kasar, umpatan, ejekan –gila, bungul, tambuk, anjing, satua, jablay, dkk- yang harusnya tidak diucapkan seringkali menjadi bagian dari kosakata mereka, bahkan saat berada dalam ruang kelas.

Saya merasakan jadi guru bukanlah pekerjaan yang mudah. Betapa jadi guru bukan hanya sekedar mengajar saja, tapi juga mendidik dan mengabdi. Untuk memperbaiki etika berbicara murid-murid saya, saya pun membuat kesepakatan dengan mereka.

”siapa yang mengatakan kata-kata kotor, tidak sopan, ejekan, umpatan saat jam mengajar saya di kelas, maka mereka akan mendapat sanksi langsung berupa push up 10 x untuk siswa, dan 5 x untuk siswi” Kami pun membuat perjanjian bersama. ”Karena sungguh sebagai seorang terdidik ucapan kotor tidak pantas dilontarkan oleh kita”, kata saya lagi.

Punishment ini ternyata efektif mengerem ucapan-ucapan murid saya. Sudah hampir berjalan 1 bulan sanksi ini berlaku, dan diawal yang paling banyak kena sanksi adalah murid laki-laki.

Dan siang itu terjadi insiden yang tidak pernah saya harapkan dari kesepakatan yang telah kami buat.

Kamis siang, jam pelajaran terakhir. Waktu itu saya mengajak murid belajar di luar kelas, di area perkebunan karet di samping sekolah kami. Metode pelajaran dengan diskusi santai membahas latihan yang mereka kerjakan, karena materi pelajaran saya sudah hampir habis menjelang ujian semester, jadi banyak diskusi dan pengayaan yang saya terapkan.

Di bawah belaian angin di sela pepohonan Karet, saya biarkan murid bebas berekspresi, belajar sambil berdendang, lesehan di atas tanah, namun semua dalam batas kewajaran. Santai tapi serius.

Saat diskusi berlangsung, ternyata ada siswi saya yang melontarkan ejekan pada temannya yang lain, sontak saya pun memandang ke arah dia, dia yang biasanya paling getol menunjuk teman-temannya yang salah, dia yang memang sering menyeletuk ketika saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Sebuah kebiasaan sebelum menjatuhkan sanksi saya pun akan bertanya pada murid yang lain ”anak-anak, apakah kalian mendengar juga ucapan dia yang tidak pantas” ketika mereka berkata ”iya, mendengar” maka jatuhlah sanksi itu.

”Sesuai kesepakatan kita” kata saya, maka kamu harus push up 5x, konsekuensi dari ucapan yang dilontarkan. Siswi itu menepi, dan Astaghfirullah dia menangis. Suasana yang tidak saya inginkan terjadi. Sayapun berkata ”ya sudah kalo tidak mau push up, kembali saja ke tempatmu”. Dan kami pun kembali melanjutkan diskusi. (satu kelemahan saya lagi, terkadang saya sangat sulit untuk bertindak tegas)

Sebuah penyesalan, pembiaran, marah atau apalah namanya, namun yang jelas saya mendiamkan dia.

Dalam proses pembelajaran Punishment maupun award adalah dua hal yang penting menurut saya.

Lalu sebagai seorang guru, salahkah saya melakukan punishment itu?

Read More......

Kidung Rembulan

Ada persuaan dengan masa lalu
Ada bibir kelu dengan bahasa yang tak terucap
Ada yang tak terungkap dengan raga dan tatapan
Membuat hatiku retak kembali
Setelah susah payah aku membenahinya

Ketika rembulan masih setengah tiang
Akupun berharap kau akan datang
Menyelesaikan cerita tentang purnama
Tapi itu dulu,
Sebelum rinai hujan menghapus jejakmu
Meninggalkan punggung tegak berbekas rindu


Aku tak tau kereta mana yang membawamu kembali ke kotaku
Mengajakku berdiri pada persimpangan kebimbangan
Menguraikan simpul hatiku yang rapuh
Tanpa permisi sekelebat senyummu tersangkut di pintu qalbu
Di hati, entah kapan?
Kemudian begitu saja tidur di jantungku yang rawan

Mengapa kau baru datang?
Disaat ada rembulan lain yang meminta ku untuk merindunya



28 April '10
saat rembulan meraih purnama

Read More......

coey's

Belajar dan mengajar merupakan fragmen yang tak terpisahkan dalam hidup ini. Pun blog ini dibuat dalam rangka proses pembelajaran.