Terpurukku di kota karma
Kota yang malamnya membuatku gerah
Di mana ikhlas terkontaminasi lelah
Asa tersublim menjadi serapah
Kota bercawan dahaga
Kota yang sudutnya berkerudung jelaga
Kureguk air putih bercampur keringat
Energiku redam dalam napas hangat
Sekelebat diam menyusup jiwa
Diam yang menyesakkan dada
Jelaga Malam
Salahkah Saya Kali Ini?
Menjadi guru itu indah, banyak ritmis yang di temui. Murid-murid dengan latar pendidikan dan kultur yang heterogen. Para rekan seprofesi dengan kepentingan yang berbeda. Jadi guru adalah pekerjaan yang hidup, karena kita menghadapi materi bernyawa yang bisa membuat marah, ketawa, sedih, kecewa, atau bangga.
Sebagai seorang anak manusia, saya juga pernah melewati masa-masa perkembangan mulai dari anak-anak, remaja sampai proses menuju kedewasaan. Jujur saya akui saya tidaklah lebih baik dari murid-murid saya sekarang. Nakal, jahil, dekil, kucel juga pernah saya lakukan.
Namun senakal-nakalnya kami jaman dulu, tidak pernah melakukan hal-hal di luar batas kewajaran. Mungkin teman-teman tidak pernah menemukan proses pembelajaran dimana para murid merokok, dalam kelas, meletakkan kaki di atas meja padahal guru ada di depan kelas menerangkan pelajaran. Syahdan, hal ini pernah saya alami ketika melakukan pembelajaran di kelas Paket.
Okelah, memang saya tidak bisa memarahi murid-murid saya, apalagi sampai menunjukkan kemarahan yang meledak-ledak, dan mungkin ini adalah sebuah kelemahan saya sebagai seorang guru, namun bukan berarti saya tidak menegur mereka.
Terkadang saya berpikir kenapa pelajaran agama, etika dan akhlak mendapat posisi dan jatah pembelajaran lebih sedikit dibandingkan pelajaran eksak, bahasa dan sosial. Padahal tiga hal itu menjadi substansi dasar dan penting untuk membentuk anak bangsa yang berkepribadian mulia.
Hal yang membuat saya miris sebagai pendidik adalah etika berbicara murid-murid saya yang masih jauh dari norma kesopanan. Mungkin karena latar keluarga dan lingkungan, serta pengaruh televisi, sehingga merekapun sering melontarkan ucapan-ucapan yang tidak pantas diucapkan seorang pelajar. Kata-kata kotor, kasar, umpatan, ejekan –gila, bungul, tambuk, anjing, satua, jablay, dkk- yang harusnya tidak diucapkan seringkali menjadi bagian dari kosakata mereka, bahkan saat berada dalam ruang kelas.
Saya merasakan jadi guru bukanlah pekerjaan yang mudah. Betapa jadi guru bukan hanya sekedar mengajar saja, tapi juga mendidik dan mengabdi. Untuk memperbaiki etika berbicara murid-murid saya, saya pun membuat kesepakatan dengan mereka.
”siapa yang mengatakan kata-kata kotor, tidak sopan, ejekan, umpatan saat jam mengajar saya di kelas, maka mereka akan mendapat sanksi langsung berupa push up 10 x untuk siswa, dan 5 x untuk siswi” Kami pun membuat perjanjian bersama. ”Karena sungguh sebagai seorang terdidik ucapan kotor tidak pantas dilontarkan oleh kita”, kata saya lagi.
Punishment ini ternyata efektif mengerem ucapan-ucapan murid saya. Sudah hampir berjalan 1 bulan sanksi ini berlaku, dan diawal yang paling banyak kena sanksi adalah murid laki-laki.
Dan siang itu terjadi insiden yang tidak pernah saya harapkan dari kesepakatan yang telah kami buat.
Kamis siang, jam pelajaran terakhir. Waktu itu saya mengajak murid belajar di luar kelas, di area perkebunan karet di samping sekolah kami. Metode pelajaran dengan diskusi santai membahas latihan yang mereka kerjakan, karena materi pelajaran saya sudah hampir habis menjelang ujian semester, jadi banyak diskusi dan pengayaan yang saya terapkan.
Di bawah belaian angin di sela pepohonan Karet, saya biarkan murid bebas berekspresi, belajar sambil berdendang, lesehan di atas tanah, namun semua dalam batas kewajaran. Santai tapi serius.
Saat diskusi berlangsung, ternyata ada siswi saya yang melontarkan ejekan pada temannya yang lain, sontak saya pun memandang ke arah dia, dia yang biasanya paling getol menunjuk teman-temannya yang salah, dia yang memang sering menyeletuk ketika saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Sebuah kebiasaan sebelum menjatuhkan sanksi saya pun akan bertanya pada murid yang lain ”anak-anak, apakah kalian mendengar juga ucapan dia yang tidak pantas” ketika mereka berkata ”iya, mendengar” maka jatuhlah sanksi itu.
”Sesuai kesepakatan kita” kata saya, maka kamu harus push up 5x, konsekuensi dari ucapan yang dilontarkan. Siswi itu menepi, dan Astaghfirullah dia menangis. Suasana yang tidak saya inginkan terjadi. Sayapun berkata ”ya sudah kalo tidak mau push up, kembali saja ke tempatmu”. Dan kami pun kembali melanjutkan diskusi. (satu kelemahan saya lagi, terkadang saya sangat sulit untuk bertindak tegas)
Sebuah penyesalan, pembiaran, marah atau apalah namanya, namun yang jelas saya mendiamkan dia.
Dalam proses pembelajaran Punishment maupun award adalah dua hal yang penting menurut saya.
Lalu sebagai seorang guru, salahkah saya melakukan punishment itu?
Kidung Rembulan
Ada persuaan dengan masa lalu
Ada bibir kelu dengan bahasa yang tak terucap
Ada yang tak terungkap dengan raga dan tatapan
Membuat hatiku retak kembali
Setelah susah payah aku membenahinya
Ketika rembulan masih setengah tiang
Akupun berharap kau akan datang
Menyelesaikan cerita tentang purnama
Tapi itu dulu,
Sebelum rinai hujan menghapus jejakmu
Meninggalkan punggung tegak berbekas rindu
Aku tak tau kereta mana yang membawamu kembali ke kotaku
Mengajakku berdiri pada persimpangan kebimbangan
Menguraikan simpul hatiku yang rapuh
Tanpa permisi sekelebat senyummu tersangkut di pintu qalbu
Di hati, entah kapan?
Kemudian begitu saja tidur di jantungku yang rawan
Mengapa kau baru datang?
Disaat ada rembulan lain yang meminta ku untuk merindunya
28 April '10
saat rembulan meraih purnama
Untuk Mereka yang Masih Saling Menyapa
Orang yang tak dikenal. Cuma orang luar. Cuma pernah bertemu di jalan. Barangkali itulah ungkapan yang kita pakaikan untuk berbagai orang yang pernah kita jumpai sejenak dalam perjalanan. Namun boleh jadi orang yang tak dikenal, bertemu cuma sebentar, mereka yang kemudian menyisakan kesan “aneh”, karena ternyata mau peduli, mau berbagi cerita. Meski setelah itu kita kembali terputus dengan meraka.
Teringat kata A’a Gym, “mustahil seseorang dipertemukan dengan orang lain tanpa menjadikannya sebagai ilmu”.
Pengalaman itupun ku alami sendiri ketika meneruskan perjalanan dari Martapura menuju Banjarmasin (lanjutan cerita antara Martapura, Sungai Tabuk dan Banjarmasin).
###
Ada apa dengan Sungai Tabuk??
Mungkin bagi kebanyakan orang, sungai Tabuk tidak terlalu berkesan. Tapi tidak bagi jiwa petualangku. Sore itu setelah dari Martapura, aku memilih ke Banjarmasin lewat Sungai Tabuk. Ada beberapa alasan kenapa kupilih jalan pintas itu.
Pertama, ingin cepat sampai ke Kayutangi, karena konon katanya lewat sana lebih cepat. Kedua, lewat sungai Tabuk merupakan pengalaman pertamaku,, jujur walau pernah tinggal 7 tahun di Banjarmasin, dan sering bolak-balik Banjarmasin – Martapura. Namun sekali-kali tidak pernah lewat jalan itu.
Akhirnya dengan berbekal keberanian dan sedikit petunjuk jalan dari si Mbak “ikuti jalan aspal ganal ja, sampai aja tu kena ke banjar”. Aku meneruskan perjalanan, menikmati suguhan alami panoramanya. Dan walhasil pada simpang tiga jalan yang sama luasnya aku terhenti.
Bingung jalan mana yang harus kuambil, dengan berbekal rumus ngawur mengenai konsep tersesat “pilih terus arah kanan, kalau tersesat di jalan, nanti bakal ketemu sama jalan yang benar”. Dan akhirnya ilmu sok tau aku benar-benar gagal,, aku tersesat pada jalan yang rusak T_T.
Dan kali ini pepatah “malu bertanya sesat di jalan” emang jadi pelajaran berharga.
Setelah yakin berada pada jalan yang benar, kulanjutkan perjalanan.
Sore semakin beranjak petang, gumpalan awan semakin menghitam di ufuk sana. Tirai kabut air terlihat jelas di ujung jalan. Tes, tetesan air hujan mengenai telapak tanganku, perlahan namun semakin deras curahan airnya tumpah. Kuputar balik motorku untuk berteduh di semua warung di pinggir jalan. Ternyata ada bapak-bapak juga yang ikut berteduh di warung.
Ketika itu sempat terjadi percakapan antara aku dan si bapak-bapak (selanjutnya ditulis Bapak 1 dan Bapak 2).
Sambil asyik minum teh hangat,, obrolan kecil mulai terjadi:
Bapak 1: Dari mana pak?
(matanya menatap ke arah bapak 2,, hohoho nggak mungkin menatap aku kan :)
Bapak 2: dari Negara, eh tepatnya Babirik (sepertinya si bapak 1 takut orang itu tidak familiar dengan nama Babirik)
Bapak 1: o ya, musim apa sekarang di sana?
Bapak 2: Tidak musim apa-apa, sampean mau kemana juga?
(cerita mengalir dari percapakan mereka,, dan aku waktu itu cuma nguping pembicaraan, sambil memperhatikan anak-anak yang main sepakbola. Tak sadar hati ini merutuk. “MasyaAllah, anak-anak. Tidak tau apa kalau main bola di tengah lapang, sangat berbahaya, bisa-bisa di sambar petir, belum lagi beceknya yang minta ampun”.)
Bapak 2: Ke Marabahan, istri saya orang sana (kupingku berdiri mendengar kata Marabahan, sepertinya ada peluang buat nimbrung)
Saya: ke Marabahan ya Pak? Tanyaku. Gimana jembatan Ulin dekat tikungan itu, masih rusak yah?? (sok tau ku keluar :)
Bapak 2: oh jembatan itu,, sekarang sudah diperbaiki. Dulu saya pernah kecelakaan di sana, menabrak pagar jembatan dan motor saya jatuh ke sungai. waktu itu malam-malam istri saya mau melahirkan, saya panik dan lupa sama jembatan itu.
Saya: wahh,, tertanya kita sama pak, saya juga pernah menabrak pagar jembatan itu. Muka motor saya rusak berat, setangnya bengkok, dan tebengnya patah. Untungnya motor saya tidak ikut nyungsep ke sungai, dan saya Alhamdulillah baik-baik aja. Cuma lutut aja kebiruan dan sempat tidak bisa jalan sebentar, karena terhantam pagar jembatan juga. (huaa,, kami sama-sama punya pengalaman buruk di jembatan itu).
Bapak 1: “Mau kemana dek?” Bapak 1 ikut ngobrol jua.
Saya : mau ke Kayutangi, katanya lewat sini lebih dekat. Dan ini adalah pertama kalinya saya lewat jalan ini.
Bapak 1: kalau siang lewat sini aman-aman saja, tapi kalau malam sebaiknya jangan lewat sini, apalagi sendirian. Karena banyak jalan-jalan yang masih sepi dari rumah penduduk, rawan kejahatan. Dan berpesan singkat “hati-hati”
Saya : oh gitu yah pak, terimakasih pesannya.
Setengah jam berlalu, hujan mulai reda. Cuma gerimis-gerimis kecil tersisa. Saatnya untuk melanjutkan perjalanan. Setelah membayar teh hangat kami pun beranjak meninggalkan warung itu.
###
Ada percakapan kecil antara bapak-bapak itu yang berkesan, tentang basa-basi perkenalan “musim apa di sana sekarang”. Sebuah basa-basi biasa namun bisa mengakrabkan suasana. Basa-basi terkadang diperlukan dalam kehidupan. Namun, jujur walau terkadang aku muak dengan basa-basi yang tidak mengandung empati, basa-basi yang penuh embel-embel.
Akhirul kalam...
Setiap perjalanan yang kulalui sehari-hari, memberikanku begitu banyak keindahan. Memberikanku pemahaman. Alam ini diciptakan bukan sekedar pelengkap kenikmatan hidup. Namun ia hadir dengan berjuta pelajaran yang harus kita rengkuh untuk memberi arti dan makna bagi kehidupan kita.
Antara Martapura, Sungai Tabuk, dan Banjarmasin
Siang itu. Matahari terus beranjak naik, meninggalkan panas di ubun-ubun. Terlihat para peserta pelatihan keluar ruangan sambil menenteng sebuah amplop dan sertifikat. Pelatihan selama 5 hari di Martapura telah usai. Perlahan tapi pasti para peserta mulai meninggalkan lokasi, pulang ke daerah masing-masing.
Ketika itu hari Sabtu pukul 14.00 wita. Aku masih terpaku, bingung antara mau pulang atau tidak, suara hati dan logika mulai berkelahi. Yah,, akhirnya logika yang menang, ga mungkin aku berani mengambil resiko naik motor sendirian, melintasi perjalanan 170 km kurang lebih, dan kemalaman di jalan. Akhirnya kuputuskan untuk pulang besok pagi minggu.
Ho ho ho,, kali ini bukan cerita tentang pelatihan tutor paket C yang baru saja aku ikuti, tapi ceritaku belajar dari perjalanan...
Mumpung masih hari Sabtu dan besoknya masih hari libur, kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Banjarmasin. Namun sebelum itu mampir dulu di rumah kerabat di Martapura.
Siang terus beranjak, cahaya putih membara belum meredup, namun sesekali awan hitam menutupi teriknya sang mentari. Meninggalkan sedikit hawa dingin pada bumi. Episode pembelajaran di mulai dari sini. Pertama yang kulakukan adalah mampir di toko buah, membeli sedikit buah untuk kerabat yang akan kukunjungi.
Bab I pembelajaran
Mampir di rumah kerabat, sebut saja beliau dengan Mbak, rumahnya berada di Tanjung Rema, Martapura. Mbak yang perjuangan hidupnya sangat keras, mbak yang punya 3 orang anak, dengan anak terakhir yang masih balita mengalami cacat fisik. Hidup terpisah dengan suaminya yang tinggal di Handil Bakti Banjarmasin, semua ini di lakukan untuk mencari nafkah keluarga. Si Mbak pun ternyata tidak mau berpangku tangan menunggu pemberian sang suami saja. Dengan sepeda butut dia bersama anak balitanya tiap hari mendatangi salah satu rumah di komplek perumahan, menjadi buruh cuci bulanan, dengan gaji 150 ribu perbulan. Gaji yang sangat rendah, jauh di bawah UMR. Aku sempat protes dan berkata “Kok, bisa serendah itu gajinya. Namun raut keikhlasan terpancar di wajahnya, dan dengan santai beliau berkata “yah, daripada tidak ada pekerjaan buat nambahin biaya hidup yang semakin tinggi”. Pembelajaran pertama sudah selesai, dan sebelum meninggal tempat Mbak, aku memberikan sekantong buah dan sedikit uang untuk belanja si kecil, hitung-hitung berbagi rejeki honor pelatihan .
Bab II pembelajaran
Setelah dari rumah si Mbak, ku lanjutkan perjalanan ke rumah kerabat yang satu lagi di Jalan Pendidikan. Masih sama di Martapura juga. Supaya mudah ku sebut saja beliau dengan bude. Bude yang satu ini hidupnya sangat bersahaja, separuh dari rumahnya masih berlantaikan tanah. Punya anak 8 orang, ah sampai nama-nama anak beliaupun aku sering lupa. Anak yang banyak ternyata tidak membuat rejeki beliau ikut banyak. Malah anak beliau yang sudah menikah sering ikut numpang makan di rumahnya, hingga pembagian jatah piring ikut bertambah. Setiba di rumah beliau, sontak sambutan hangat mengalir dari bibir beliau. Kedekatanku dengan beliau membuat ragam cerita tumpah ruah begitu saja. Mulai dari cerita anak lelaki beliau yang berinjak remaja terlibat pergaulan bebas, hingga sering mabuk-mabukan sama gengnya. Duh,, miris hati ini mendengarnya.
Hening sejenak,,
Beliau kembali bicara, namun kali diiringi tawa-tawa kecil, beliau berkata “San, tuh coba lihat meja makan Bude”,, sambil senyum ku bilang “ah,, ngapain bude, orang sudah makan juga waktu sebelum penutupan pelatihan tadi, masih kenyang kok”.
Hening kembali menyeruak,,
Kemudian lirih beliau berkata “tidak ada makanan apa-apa di meja, tidak ada beras yang bisa di masak, dan tidak ada uang untuk membeli beras. Pakde kamu masih belum pulang dari bekerja, mudahan sore nanti pakde bawa uang. Untungnya adik-adikmu yang kecil tidak rewel minta makan. Yah, kalau ada nasi mereka makan, kalau tidak mereka diam aja”.
Tes,, airmata menetes di hatiku. Yah, Cuma di hati, sekuat tenaga ku tahan agar buliran-buliran halus tidak menetes dari mata ini. Tak tau dan tak mengerti harus berkata apa. Apakah ini sebuah kepasrahan, ketidakberdayaan, atau malah sebuah kemalasan ketika hanya mengharap pemberian dari pakde. Berbeda sekali dengan mbak yang tak kenal lelah menjadi buruh cuci untuk membantu suami mencari nafkah.
Seperti sebelumnya, ketika ingin pulang kuberikan kantong buah yang satunya lagi dan kembali berbagi rejeki uang honor pelatihan. Masyaallah beliau menangis menerima sedikit uang yang kuberikan. Dan spontan beliau memanggil anak lelakinya, beliau berkata ”Nduk, ini kakakmu ada kasih sedikit uang, kamu ke toko wan haji yah, beli beras sama minyak tanah”.
Tak mau berlama-lama di sana, aku langsung pamit pulang untuk meneruskan perjalanaan ke Banjarmasin.
Sebuah pelajaran penting dalam hidupku dari dua fragmen yang berbeda. Antara kegigihan dan kepasrahan…
Situasi hidup yang diberikan Allah kepada memang berbeda-beda. Tingkat kesulitannya pun beragam. Di antara kita, ada banyak orang yang sangat jauh dari kemudahan-kemudahan. Mereka bercengkerama dengan situasi yang seolah memaksanya untuk pasrah. Namun di sisi lain, ada pula di antara yang melimpah dengan kemudahan.
Kesulitan dan kemudahan, sebenarnya adalah dua situasi yang selalu akan kita temui. Ia bisa menjadi pilihan, tetapi terkadang lahir dari sebuah tekanan, paksaan atau faktor yang lain.
Hahayy,, melankolis cerita kali ini. Eiitt,, tunggu dulu cerita masih bersambung, karena ini baru secuil cerita di Martapura, belum sampai ke Banjarmasin.
Futur Menulis
Tiada kata dan bahasa yang patut diucap kecuali kata malu. Malu menyebut diri sebagai blogger. Terlalu lama jemari ini tidak menari lincah, merangkai hentakan-hentakan ritmis. Terakhir aku menulis saat bulan kemerdekaan, di mana jemari inipun merasa bebas bersalsa. Namun setelah bulan kemerdekaan lewat, kembali jemari ini terkungkung. Terkungkung oleh rutinitas dan rasa malas. Tidak ada alasan dan alibi memang, kecuali rasa malas. Malas untuk memulai menulis, aku terlena dengan kesibukan dan rutinitas. Kalau dalam istilah Tarbiyah, saat ini aku sedang Futur. Futur menulis. Disebut sedang hibernasi ataupun hiatus juga tidak pantas, karena aku sering berkomentar dan menulis status di facebook.
Jiaahh,,
Mungkin agak lucu kalo aku menjadikan amanah tambahan di luar ngajar sebagai alasan futur menulis, namun memang begitulah adanya. Entah kenapa amanah yang berhubungan dengan uang selalu jadi jatahku. Dulu waktu masih kuliah, 2 periode kepengurusan organisasi aku bercokol di departemen dana dan usaha. Waktu kerja di RS juga ngurusin klaim alat operasi. Dan ketika pindah haluan, pulang kampung, mengajar, dan akhirnya mendirikan Iqro Club Balangan bersama teman-teman, lagi-lagi aku di minta jadi bendahara umum. Mencoba meraba-raba alasannya, apa mungkin ini karena aku seorang pedagang??? *weleh-weleh*. Dan, semua itu Alhamdulillah masih bisa kulaksanakan.
Namun sekarang yang benar-benar bikin kalang kabut ketika aku menjadi bendahara di sekolah baru. Penunjukan sepihak oleh kepsek tanpa bisa kutolak. Bayangkan aku yang berlatar ilmu eksak dari SMA sampai kuliah harus berhadapan dengan rencana anggaran, LPJ dan pajak. Belajar dan belajar, nanya kesana-kemari tentang segala tetek bengek dana BOS, sudah kulakukan. Tapi tetap saja lelet, faktor usia juga kali yah, sekarang tambah susah aja tuk menangkap ilmu (ngawur.com hehehe,,).
Ada yang bertanya” loh, bendahara lamanya mana??” hmm… jangan tanyakan itu, karena bendahara lama seolah-olah lepas tangan.
Begadang tiap malam sudah jadi rutinitasku sekarang.
Dan, apabila suatu hari teman-teman berpapasan dengan perempuan yang agak sedikit gendut (karena kebanyakan ngemil tengah malam kali ye, hehehe) lemas, pucat, tak terawat, gurat letih yang nampak jelas di wajah, mata yang lelah karena kurang tidur, mungkin itulah aku. Yah, aku hanya sedikit lelah. itu saja. Tapi aku akan berusaha memberikan senyum terindah untuk kalian saat berjumpa (Oops,, lebayy)
Bagaimana aku harus menjelaskan? Teman...aku hanya manusia lemah yang jauh dari kesempurnaan. Aku tak berani berjanji tuk sering menulis,, namun aku akan berusaha mengikat imaji-imaji agar tidak terbang bebas, hingga di saat aku ingin bercerita, ku bisa menariknya kembali.
JANGAN MAU DIJAJAH..!!!
“Sekali MERDEKA TETAP MERDEKA, selama semangat itu masih DI JIWA SEORANG SANG MERDEKA”
Kata-kata di atas merupakan forward sms dari seorang teman nun jauh di sana, persis pada tanggal 17 Agustus tadi. Tergelitik hati untuk menulis tentang kemerdekaan juga saat masih hangat-hangatnya momentum 17an, namun apa daya aktivitas dan rutinitas tak mengijinkannya. Alhamdulillah baru bisa sekarang nulisnya.
Kalau melihat kata MERDEKA maka tak luput hati ini juga akan teringat dengan kata JAJAHAN.
Menilik kembali sms teman di atas, “JIWA SEORANG SANG MERDEKA”.
Timbul pertanyaan benarkah diri kita sudah merdeka?
Atau malah saat ini diri kita sedang terjajah?
Terjajah oleh kelakuan kita sendiri?Wallahu’alam
Tengoklah hari-hari yang sudah berlalu dan boleh jadi kita terkesima. Karena, ternyata selama ini diri kita sendiri yang menjajah hidup kita lewat berbagai cara. Padahal sebenarnya kita bisa menjadi manusia yang merdeka. Manusia yang mengetahui apa yang ingin kita tuju, yang mampu merancang langkah-langkah untuk mencapainya, dan tahan dalam proses merancang dan meraihnya.
Pemisah antara merdeka dan terjajah sangatlah tipis. Pemisahnya ada pada hati kita sendiri. Saat kita memutuskan memilih antara berdosa atau beramal shalih, antara meniti jalan kebaikan atau tenggelam dalam kemungkaran. Antara menyerahkan penghambaan kepada Allah atau kepada hawa nafsu sendiri.
KEMERDEKAAN SEJATI adalah KEMERDEKAAN IMAN. Tak ada yang lebih merdeka dari orang beriman. Sebab ia tidak merasa memiliki penjajah. Tidak juga orang lain. Kemerdekaan memberi arti pada banyak fungsi kehidupan. Secara social, hanya orang-orang merdeka, yang bisa meniti jalan kedermawanan. Mereka 0rang-orang yang tidak harus merasa dijajah oleh duniawinya, oleh kekayaannya. Mereka meletakkan uang di atas tangannya. Bukan memenuhi isi otaknya. Maka ia bisa berbagi, memberi, tetapi ia juga merasa sah untuk menikmati apa yang halal dari karunia Allah. Ia mengerti kapan harus tampil dengan pantas, makan dengan pantas, sebagai penjabaran dari menunjukkan ‘bekas-bekas’ nikmat Allah.
Tidak ada penderitaan melebihi pahitnya dijajah diri sendiri. Terlebih bagi orang-orang yang tidak menyadari. orang yang tidak menyadari kenyataan bahwa DOSA, KESALAHAN, JALAN HIDUP KOTOR, KEMALASAN, adalah PENJAJAHAN ATAS DIRI SENDIRI, yang akan mengalami situasi dimana jiwanya terasa kering dan gersang. Mungkin ia bisa menghibur diri dengan nyanyian bahagia, atau mimpi-mimpi duniawi yang megah. Tetapi sebenarnya hal itu tidak menghapus kegalauan.
Di batas ini kesadaran punya peran besar dalam mengantarkan kita menjadi manusia merdeka. Ya, kesadaran. Pengakuan paling mendasar dari hati nurani dan suara hati. Orang-orang yang beriman bukan berarti tak pernah salah, atau tak pernah dosa. Mereka pernah salah, pernah berdosa, tapi kesadaran yang selalu dijaga nyawa dan nyalanya, telah membuat orang mukmin punya system recovery yang handal. Allah swt mengabarkan, “sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS, Al-A’raf:201)
MENJADI MANUSIA YANG MELEPASKAN PENJAJAHAN PADA DIRI SENDIRI, INILAH PUNCAK KESADARAN YANG MELAHIRKAN KEMERDEKAAN, SEKALIGUS MELAHIRKAN KEBAHAGIAAN.