Padahal tidak sepantasnya kita menjadi penyebab orang lain pedih dan getir

Hidup adalah pedih dan getir itu sendiri. Kali ini bukan pedih dan getir karena sistem demokrasi dan konstitusi yang lagi berbenah. Juga bukan kegetiran tentang sistem pendidikan kita yang penuh kontroversi, tak sadar sistem itu ikut andil memotong akar generasi anak negeri dan pengkerdilan rasa percaya diri anak didik. Terlalu banyak mungkin orang lain yang sudah membahas tentang itu Kali ini tentang sosok-sosok pribadi yang ada di sekelilingku.

Semula berawal dengan kedatangan seorang Bataker di tempat kerja kami. Dari awal kehadirannya, responnya memang tidak baik. Tidak ada yang bisa dijadikan kambing hitam, karena kedua pihak memang salah. Bataker dengan embel S2 dibelakangnya, terkadang melampaui pagar-pagar pembatas etika, merasa hebat dengan titel yang dia sandang. Tidak mengindahkan pepatah tua 'di mana langit di junjung, di situ bumi di pijak'. Bataker tidak menginjak bumi itu karena mungkin takut sepatu mengkilapnya jadi kotor. Lupa di tempat kerja kami ada penghuni lama yang ’merasa’ harus dihormati. Apriori kehadirannya pun akhirnya tidak bisa dihindari. Masa kerja bataker tidak langgeng. Hujatan, cacian, dengki ikut mendampingi kinerjanya. Akhir bulan ini bataker mengundurkan diri sebelum diberhentikan dengan tidak hormat sama bos kami. Miris melihat itu terjadi di tempat kerjaku, kenapa ada rasa dengki, saling hujat dan menjatuhkan, padahal sama-sama cari makan di tempat itu. Kenapa tidak diberi peringatan dulu? kenapa tidak ada kesempatan kedua?

***
Hidup adalah pedih dan getir itu sendiri. Demikian seringkali kita katakan bila kita terlanjur terluka. Tapi, bagaimana pun pedih dan getirnya perlakuan orang-orang pada kita, semua mungkin masih dapat tertanggungkan. Karena bukan kita yang kehilangan kedirian.

Sebaliknya, pedih dan getirnya orang lain akibat sikap dan perilaku kita, itu yang sepatutnya tidak tertanggungkan. Itu yang sepatutnya kita hindari mati-matian. Menjadi pelaku, penyebab orang lain pedih dan getir sebenarnya telah membunuh kemanusiaan kita sendiri. Jangan sampai kita berkata ’hidup adalah pedih dan getir itu sendiri, yang kita ciptakan untuk orang lain’. Jangan sampai kita menjadi api pembakar ilalang kemanusiaan, kebahagiaan dan ketenangan orang lain.

Hidup jelas bukan permainan. Bagi kita, bagi orang lain di sekitar kita. Hidup adalah tanggung jawab. Kita punya tanggung jawab pada orang lain. Kita kadang tidak peduli pada kata-kata yang kita lontarkan. Banyak ucapan berbahaya yang kita anggap sepele. Tentang menghujat orang lain sekedarnya, tentang menceritakan aib orang lain, tentang bergunjing sejenak disela kesibukan. Sepantasnya kita tahu perbuatan itu mungkin berimbas panjang. Menimbulkan kegetiran pada diri korban kata-kata gunjingan itu. Menjadi penyebab orang memusuhi korban gunjingan, tanpa ia bisa membela diri sama sekali. Tanpa ia tahu apa-apa. Padahal tidak sepantasnya kita menjadi penyebab orang lain pedih dan getir.

4 komentar:

K-BLOPERT 28 April 2009 pukul 10.15  

Selamat gabung di K-Blopert :D

HE. Benyamine 28 April 2009 pukul 22.26  

Yap, tidak sepantasnya kita menjadi penyebab orang lain pedih dan getir, namun juga tidak sepantasnya kepedihan dan kegetiran seseorang selalu ditimpakan karena disebabkan orang lain.

syafwan 3 Mei 2009 pukul 00.23  

Terkadanga jengah ketika kita menjadi pedih dan tersakiti karena orang lain. Tapi sayang orang yang dibela mati-matian tersebut tidak mengerti.
"teruskan saja getirmu," lantangnya.

coey_paringin 3 Mei 2009 pukul 01.46  

HEB: Mungkin hukum sebab-akibat akan selalu berlaku di dunia. Apa yang kita alami saat ini, bisa saja imbas dari perilaku kita di masa lalu.

Syafwan: Satu pertanyaan, sebenarnya ada dimana kita dalam wadah kegetiran itu? apakah kita korban atau malah menjadi penyebab kegetiran bagi perahu kehidupan orang lain.

Posting Komentar